TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL



I. Defenisi Perselisihan Hubungan Industrial 
      Pasal 1 Angka 1 UU. No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Persilisihan Hubungan Industrial juncto Pasal 1 Angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

2. Jenis perselisihan Hubungan Industrial
       Sesuai Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Persilisihan Hubungan Industrial, jenis perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
a. Perselisihan hak;
     Perselisihan Hak menurut Pasal 1 Angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan;
      Perselihan Kepentingan menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 2 Tahun 2004adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja;
      Perselisihan pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1 Angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
     Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh menurut Pasal 1 Angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

3. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
Sesuai Pasal 136 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal Penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang (Pasal 136 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2003).

4. Jenis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ada beberapa jenis yaitu:
1. Penyelesaian Melalui Bipartit.
2. Penyelesaian Melalui Mediasi.
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi.
4. Penyelesaian Melalui Arbitrase.
5. Pengadilan Hubungan Industrial.
Ad.1. Penyelesaian Melalui Bipartit
        Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Bipartit ini merupakan tahapan awal dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan para pihak yang bersengketa berkewajiban mengupayakan penyelesaian perselisihannya melalui Perundingan bipartit ini terlebih dahulu sebelum melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tingkat mediasi, konsiliasi, arbitrase ataupun melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebagaimana Pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan :
“Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat”.
         Adapun yang dimaksud dengan Perundingan Bipartit ini menurut Pasal 1 Angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
        Penyelesaian perselihan melalui Bipartit ini, diadakan oleh para pihak dengan cara salah satu pihak baik itu dari pihak pengusaha ataupun pekerja/serikat pekerja melakukan permintaan perundingan secara Bipartit. Permenaker Nomor PER. 31/MEN/XII/2008 melampirkan Permintaan Perundingan secara Bipartit.

    PERMINTAAN PERUNDINGAN SECARA BIPARTIT

Nomor : (Tempat), (tanggal) ............................
Lampiran : 1 (satu) berkas
Hal. : Permintaan Perundingan Kepada yth. :
Sdr. ........................................

Dengan hormat,
Sehubungan dengan adanya permasalahan yang perlu dirundingkan secara Bipartit maka kami mengajukan untuk melakukan musyawarah pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Untuk menyelesaikan masalah sebagai berikut :
1. ...........................................................................
2.............................................................................
3.........................................................................dst
Atas perhatian dan kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

                                                      Pihak
                                  *)Pengusaha/Pekerja/Buruh/
                                 Serikat Pekerja/Serikat Buruh

                                                         ttd
                                                     (Nama)

       Penyelesaian perselisihan melalui perundingan secara bipartit ini haruslah diselesaikan oleh Para pihak paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal dimulainya perundingan.
Sebagaimana Pasal 3 Ayat 2 UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan:
“(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan”.
        Dalam setiap perundingan tersebt harus dibuat risalah perundingan yang minimal memuat : a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. (ps. 6 ayat 2 UU ketenagakerjaan)
        Apabila perundingan Bipartit mencapai persetujuan atau kesepakatan, maka persetujuan bersama (PB) tersebut di catatkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di wilayah Para Pihak mengadakan PB (Ps. 7 ayat 3 UU PPHI) , namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota.

Comments

Popular posts from this blog

KEUANGAN dan HARTA KEKAYAAN

Pengertian Check Off System (COS)